Hidayat Kampai: Generasi Stroberi? Bukan, Kami Ini Generasi Guava yang Tangguh!

    Hidayat Kampai: Generasi Stroberi? Bukan, Kami Ini Generasi Guava yang Tangguh!

    SOSIAL-Suatu sore yang tenang tiba-tiba dikejutkan dengan sebuah pesan WhatsApp dari  kawan saya kuliah Magister Hukum UNILA yang dikenal suka menulis dengan hati dan logika tajam. Pesannya bernada agak kesal, “Dimana aku bisa pos tulisan media? Aku kesal banyak orang bilang kita Generasi Stroberi. Aku mau buat tulisan kalau aku gak sepakat!”

    Sebagai teman yang baik, jawaban saya sederhana tapi menyemangati, “Good! Kalau gak setuju, bantah dengan tulisan, bukan sekadar ngomel!” Esok harinya, muncullah tulisan mereka, dengan judul yang cukup provokatif, “Guava Generation Menolak Stroberi Generation.” Sebuah ironi yang tidak bisa saya lewatkan untuk guyon, “Wah, ini. Bukti Stroberi nih, nulis saja harus keroyokan. Mana yang pikiran kamu, mana yang temenmu?” Untungnya, dia tidak marah. Dia tahu saya hanya bercanda.

    Namun, tulisan mereka menarik perhatian saya. Meskipun saya tidak ingin menanggapi isinya secara langsung, keberanian mereka menyuarakan ide mereka lewat tulisan adalah langkah luar biasa yang patut diapresiasi. Dari sini, saya mulai merenung. Mengapa sih, generasi kita sering dilabeli dengan julukan yang tidak mengenakkan seperti “Generasi Stroberi”?

    Mari kita bedah lebih dalam. Generasi Z, atau Gen Z, sering disebut Generasi Stroberi karena dianggap "rapuh" dan "manja." Padahal, generasi ini sebagian kecil adalah anak-anak dari Generasi Milenial (Gen Y) sisanya dari Generasi X. Secara demografi, Gen Y lahir sekitar 1981 hingga 1996, dengan usia tertua sekitar 43 tahun. Sementara Gen Z lahir antara 1997 hingga 2012, dengan usia tertua 27 tahun. Generasi ini dibesarkan oleh orang tua Gen Y yang—suka atau tidak—menciptakan lingkungan yang relatif lebih nyaman dibandingkan masa sebelumnya.

    Generasi Milenial dikenal sebagai saksi transisi besar dari teknologi analog ke digital. Mereka tumbuh di masa internet mulai berkembang, dengan naiknya media sosial dan smartphone yang merevolusi cara manusia berkomunikasi. Sementara itu, Gen Z adalah “anak asli digital.” Dari kecil, mereka sudah terbiasa dengan internet, media sosial, dan perangkat pintar. Dunia mereka tak pernah lepas dari teknologi. Mereka juga lebih sadar akan isu global seperti perubahan iklim, inklusivitas, dan tentu saja teknologi.

    Lalu, bagaimana interaksi dua generasi ini? Uniknya, Gen Y dan Gen Z biasanya tak mengalami banyak kendala saat berkomunikasi karena memiliki rentang masa yang berdekatan. Sebagai contoh, saya yang berasal dari Gen Z mendidik anak-anak yang tergolong Generasi Alpha, yakni mereka yang lahir dari tahun 2013 hingga 2025. Anak-anak ini adalah generasi yang sejak lahir sudah bersahabat dengan perangkat pintar, kecerdasan buatan (AI), dan bahkan realitas virtual (VR). Namun, tantangan mereka tidaklah ringan. Generasi Alpha ini tumbuh di masa perubahan besar seperti pandemi COVID-19, yang memengaruhi pola pendidikan dan interaksi sosial mereka.

    Hal yang sama dialami Gen Z. Sebagian besar dari mereka lahir di keluarga yang lebih mapan secara ekonomi, hasil kerja keras Gen Y. Dengan akses yang melimpah ke fasilitas dan informasi, mereka jarang menghadapi tantangan hidup seperti generasi sebelumnya. Tidak heran jika mereka sering dianggap “dimanja.” Namun, manja bukan berarti lemah. Mereka adalah generasi yang dibesarkan untuk terbuka, kritis, dan tidak segan menyuarakan pendapat.

    Masalahnya, benturan kerap terjadi ketika Gen Z harus berinteraksi dengan generasi yang lebih tua, yang masih menganut pola komunikasi satu arah penuh otoritas. Bagi Gen Z, cara ini terasa kaku dan tidak relevan. Tetapi Gen Y—yang sebagian memiliki anak Gen Z—lebih adaptif. Mereka memahami bahwa cara lama tidak akan berhasil di dunia yang terus berubah. Bahkan, Gen Y yang memiliki anak dari Generasi Alpha tahu betul pentingnya membangun dialog yang logis dan penuh pengertian.

    Kesimpulannya, bukan Generasi Z atau Alpha yang harus beradaptasi dengan cara kita. Sebaliknya, kitalah yang harus mulai memahami pola pikir mereka. Sebab mereka adalah cerminan masa depan yang lebih inklusif, kreatif, dan tentu saja, berdaya.

    Generasi X, Anak Kunci Pintu yang Jadi Pelopor Dunia Digital.
    Pernah dengar istilah Generasi X? Jangan-jangan, Anda salah satu dari mereka. Generasi ini, yang lahir sekitar tahun 1965 hingga 1980, sering disebut sebagai "generasi transisi." Mengapa transisi? Karena mereka hidup di tengah dua dunia besar—masa analog yang penuh tradisionalisme pasca-Perang Dunia II dan era digital yang mendobrak segala batas.

    Mereka ini anak-anak yang tumbuh tanpa kemewahan teknologi digital. Hidupnya penuh dengan televisi tabung, telepon rumah yang masih pakai kabel panjang, dan kalau mau hiburan? Ya, harus ke taman atau dengar radio! Namun, jangan salah. Generasi ini adalah saksi pertama perkembangan komputer pribadi, video game, bahkan ponsel. Teknologi? Mereka belajar itu saat sudah dewasa, bukan seperti anak sekarang yang main tablet sejak dalam gendongan. Kalau Anda berpikir mereka gagap teknologi, Anda salah besar. Justru, merekalah yang membangun fondasi dunia digital yang kita nikmati hari ini.

    Nah, hal unik dari Generasi X adalah mereka sering disebut sebagai “latchkey kids” alias anak-anak kunci pintu. Kok bisa? Karena banyak dari mereka yang pulang sekolah langsung mengurus diri sendiri. Kenapa begitu? Karena kedua orang tua mereka, untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, sama-sama bekerja. Jadi, jangan heran kalau generasi ini terkenal mandiri dan pragmatis. Mau tidak mau, mereka harus belajar bertahan dan mengambil keputusan sejak dini—walau cuma soal masak mie instan sendiri!

    Generasi ini juga tumbuh di masa penuh gejolak. Mereka menyaksikan Perang Vietnam, skandal Watergate, dan krisis ekonomi yang bikin banyak keluarga terombang-ambing. Akibatnya? Mereka jadi skeptis terhadap institusi tradisional, seperti pemerintah atau perusahaan besar. Bukannya apatis, mereka hanya lebih realistis. Makanya, urusan kerja, mereka lebih fokus mencari keseimbangan antara hidup dan karier—bukan cuma ngejar jabatan tinggi tanpa peduli waktu untuk keluarga.

    Namun, jangan anggap mereka hanya generasi transisi tanpa peran besar. Generasi X-lah yang menanam benih kebebasan individu yang lebih luas, budaya pop yang meledak di tahun 70-an dan 80-an, serta membangun jembatan menuju era digital. Mereka adalah generasi yang tetap tangguh meski menghadapi tantangan besar, generasi yang membuat perubahan dengan caranya sendiri.

    Jadi, kalau Anda melihat orang yang kini berada di puncak karier, mahir teknologi meski tidak tumbuh bersamanya, dan tetap punya waktu untuk keluarga? Bisa jadi, itulah Generasi X—generasi yang awalnya cuma anak kunci pintu tapi kini membuka pintu untuk masa depan kita semua!

    Jadi, berhentilah menyebut mereka Generasi Stroberi. Sebab, mereka adalah Generasi Guava: tampak lembut di luar, tapi sebenarnya tangguh di dalam. Dan satu hal lagi, jangan remehkan mereka. Siapa tahu, tulisan protes temen saya hari ini adalah langkah kecil menuju perubahan besar di masa depan! 

    Bandar Lampung, 25 November 2024
    Hidayat Kampai
    Catatat Sang Murid

    hidayat kampai gen y gen z gen x
    Dr. Hidayatullah

    Dr. Hidayatullah

    Artikel Sebelumnya

    Hendri Kampai: Jangan Mengaku Jurnalis Jika...

    Artikel Berikutnya

    Hidayat Kampai: Ketika Guru Renang Tak Bisa...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Hendri Kampai: Selamat Hari Ibu, Harga Barang Naik Sudah Menunggu di Tahun Baru
    Hendri Kampai: PPN Naik, PPh Dibiarkan, Beban Rakyat Kecil Bertambah, yang Kaya Tetap Nyaman
    Hendri Kampai: Penolakan Terhadap PPN 12% Menjadi Bola Salju Perlawanan Rakyat
    One Day ATLAS: Komitmen Auditor Indonesia Meningkatkan Kompetensi dan Inovasi di Era Digital
    Hendri Kampai: Mahalnya Biaya Pendidikan, Kebodohan Rakyat yang Sengaja Dipelihara

    Ikuti Kami