PENDIDIKAN - Di sudut-sudut kelas yang lapuk oleh waktu, di bawah atap-atap yang seringkali bocor saat hujan, guru honorer adalah jiwa yang tetap teguh. Mereka adalah para penjahit mimpi anak bangsa, bekerja tanpa jeda meski bayang-bayang pengakuan tak kunjung tiba. Berpuluh tahun mengabdi, pertanyaan itu menggantung: apa yang sebenarnya mereka harapkan?
Mari kita mulai dari kisah Bu Sri. Setiap pagi, ia menyusuri jalan berbatu dengan sepeda motor tua menuju sekolah di pelosok desa. Dengan gaji yang lebih kecil dari biaya bensin, ia tetap berdiri di depan kelas, membimbing anak-anak membaca, menulis, dan menghitung. Dalam senyum yang ia suguhkan pada murid-muridnya, ada kepingan pengorbanan yang seringkali tak terlihat. Namun, apa yang ia harapkan dari semua ini?
Baca juga:
Struktur Ideal Sebuah Berita
|
Harapan dalam Kesederhanaan
Tak seperti dongeng dengan janji istana, harapan para guru honorer sering kali sederhana: pengakuan atas jerih payah mereka. Mereka tidak meminta kekayaan, apalagi kehidupan serba gemerlap. Mereka hanya ingin status yang pasti, penghasilan yang cukup untuk menyambung hidup, dan rasa dihargai atas dedikasi bertahun-tahun yang sering kali tak terlihat di bawah bayang gemerlapnya dunia pendidikan.
Tapi, harapan ini seperti benih yang ditanam di tanah gersang. Tiap kali mereka mendengar janji perbaikan status, harapan itu tumbuh, hanya untuk kembali layu saat janji itu tertiup angin.
Perjuangan Tanpa Akhir
Mengabdi sebagai guru honorer adalah perjalanan tanpa peta. Mereka menghadapi birokrasi yang rumit, kontrak kerja yang tak pasti, dan beban kerja yang tak kalah berat dari guru tetap. Mereka bukan hanya pengajar, tapi juga pengasuh, motivator, hingga orang tua kedua bagi anak-anak didiknya. Tapi saat akhir bulan tiba, amplop yang diterima sering kali terasa seperti lelucon pahit.
Ironisnya, di tengah segala keterbatasan itu, merekalah yang tetap hadir. Mereka tetap mengajar meski terkadang tak dibayar tepat waktu. Mengapa? Karena ada rasa tanggung jawab yang tertanam begitu dalam pada diri mereka, rasa cinta terhadap pendidikan yang melebihi kebutuhan materi.
Baca juga:
Ini Dia, Cara Menulis Rilis dalam 3 Menit
|
Di Mana Letak Keadilan?
Narasi guru honorer adalah refleksi dari sistem yang sering kali abai terhadap keadilan. Di satu sisi, pendidikan disebut sebagai pilar bangsa, tapi di sisi lain, pilar itu ditopang oleh orang-orang yang diperlakukan dengan setengah hati. Pertanyaan besar muncul, bagaimana mungkin negara yang mengaku memprioritaskan pendidikan tetap membiarkan para pejuang pendidikannya berada dalam ketidakpastian?
Keadilan bukan sekadar memberikan tunjangan atau status, tetapi juga mengembalikan martabat mereka sebagai pendidik. Guru honorer bukanlah figuran dalam skenario besar pendidikan; mereka adalah aktor utama yang layak mendapatkan panggung yang sama.
Harapan yang Tak Padam
Apa yang mereka harapkan? Mungkin harapan itu tak serumit yang kita bayangkan. Mereka ingin status yang jelas, agar perjuangan mereka tidak berakhir sia-sia. Mereka ingin gaji yang layak, agar bisa menghidupi keluarga tanpa perlu menambal penghasilan dengan pekerjaan tambahan. Dan lebih dari itu, mereka ingin rasa hormat, agar nama mereka disebut dengan bangga, bukan dengan belas kasihan.
Meski begitu, banyak dari mereka yang tetap memilih untuk bertahan. Mereka tahu, perubahan tidak datang secepat kilat. Tapi setiap kali mereka melihat senyum murid-muridnya, harapan itu hidup kembali. Harapan bahwa suatu hari, pengabdian mereka akan dihargai.
Jadi, apa yang mereka harapkan? Barangkali, harapan mereka adalah janji sederhana yang ditepati. Janji bahwa suatu hari, mereka tak lagi perlu bertanya: Apakah perjuangan ini berarti?
Jakarta, 25 November 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi